Rabu, 13 April 2011

Bismillahirrahmanirrahiim
Tema: Astaghfirullah, Aku Gagal Lagi

Sekolah Tinggi Akuntansi Negara

Pertengahan tahun 2006 lalu saya lulus SMA dengan nilai yang bolehlah dibilang bagus. Saya cukup senang dengan hasil yang saya peroleh, karena nilai yang dibutuhkan untuk mendaftar di kampus yang saya impikan tercukupi. Kampus yang saya idam-idamkan sejak pertama kali mendengar dan mengetahui namanya. STAN kawan. Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. Bukan sembarang sekolah menurut saya, karena tidak sembarang lulusan SMA yang bisa ikut mendaftar. Untuk mendaftar saja rata-rata nilai nem tidak boleh dibawah 7. Meski 6,99 sekali pun tidak boleh.
Adalah dua orang teman saya Isyah dan Wely yang memberitahukan saya tentang sekolah ini. Bukan memberitahu, tepatnya saya mencuri dan mencari tahu. Hal yang membuat saya tertarik adalah sekolah ini gratis alias tidak membayar. Ini cocok sekali untuk saya. Hatta kehidupan keluarga saya sungguh jauh di bawah garis kemiskinan. Secara global katanya rakyat Indonesia itu rata-rata hidup tidak sejahtera dengan kata lain miskin. Nah, keluarga saya amat sangat miskin dibandingkan dengan rakyat Indonesia yang tinggal di sekitar rumah saya, maka patutlah saya mengatakan kehidupan keluarga saya sungguh jauh di bawah garis kemiskinan.
Sejak saat itu saya rajin mencari informasi mengenai sekolah itu, dan saya lebih giat lagi belajar dan meperdalami kemampuan saya di bidang akuntansi ekonomi khususnya. Bahkan saya sengaja mengambil jurusan akuntansi kala itu, padahal saya lebih menguasai dan menyukai bidang bahasa dan sastra. Tapi untk apa pikir saya, toh nanti saya tidak akan bisa kuliah di bidang itu. Sekarang yang ada di depan mata adalah STAN. Peduli setan saya suka akuntansi atau tidak. Dalam benak saya adalah saya harus bisa kuliah dan sukses. Saya harus menarik keluarga saya sedikit lebih ke atas, minimal di garis kemiskinanlah jangan di bawah garis terus.
Menitik air liur ini, eh bukan air mata maksud saya, ketika melihat teman-teman saya dengan suka cita mengisi formulir PMDK, saya ingin sekali ikutan namun, berhentilah berharap ujar saya pada diri sendiri.Jangankan untuk membeli formulir yang harganya tidak ada di bawah seratus ribu rupiah itu, bisa mengantongi dua ribu rupiah setiap hari untuk ongkos saya ke sekolah pulang pergi saja sudah alhamdulillah sekali. Apatah untuk membeli formulir yang hanya terbuat dari kertas itu namun, harganya cukup untuk makan kami sekeluarga selama seminggu.
Air mata tidak lagi menetes tapi mengalir saat melihat teman-teman saya dengan mudahnya membayar biaya bimbel (bimbingan belajar) untuk persiapan UAN dan SPMB. Rp 400.000,00 - Rp 700.000,00 kawan..bisakah kau membayangkan betapa banyaknya jumlah itu hanya untuk 3 bulan belajar, belum lagi biaya hidup selama 3 bulan, itu karena tempat bimbel tersebut di ibukota provinsi. Kali ini saya tidak hanya dilarang berharap namun juga dilarang mengingatnya, terlintas sekejap pun dalam pikiran ini tak boleh. Mirisnya, salah satu sahabat saya yang ikut bimbel di salah satu pusat bimbingan belajar itu tidak pernah ikut sama sekali selama proses belajar disana. Dia malah asyik main dan keliling kota. Ingat banget saya dengan lembaran rupiah yang dibayarkannya di bagian administrasi kala itu. Saya menyesal telah bersedia menemaninya waktu itu dan harus terbayang-bayang pada helai-helai kertas berwarna merah itu setiap kali melihat dia dengan tanpa dosa seenak dengkulnya tidak mengikuti bimbingan belajar itu. Sakit hati saya. Saya berdo’a suatu saat dia akan sadar bahwa tidak mudah mencari uang dan dia akan berpikir seribu kali untuk membuang-buang uang percuma. Lebih baik dia memberikan kepada orang lain yang lebih membutuhkan.
Dengan susah payah abang saya akhirnya bisa mengumpulkan uang seratus ribu rupiah untuk saya, ditambah ongkos untuk ke kota. Yup, saya akan mendaftarkan diri untuk ikut ujian saringan masuk STAN. Memang penyelenggaraan tes SPMB lebih dahulu beberapa minggu dibanding ujian saringan masuk STAN. Dan Alhamdulillah lagi, dari semua formulir pendaftaran,formulir pendaftaran STAN yang paling murah, hanya seratus ribu rupiah. Tapi untuk saya jelas tidak cocok kata hanya mendahuluinya,karena abang saya harus banting tulang mengumpulkannya siang dan malam. Kasihan dia, belum lagi mencari biaya hidup kami sekeluarga. Semua dia yang menanggung semenjak ayah meninggalkan kami secara mendaadak pada 2004 lalu. Ayah pergi tanpa meninggalkan uang sepeserpun karena memang tidak ada yang bisa ditinggalkan untuk anak istrinya. Penghasialan mendiang ayah dulu itu hanya cukup untuk makan sehari itu saja, untuk besoknya, ya dicari lagi. Begitu seterusnya, masih untung kalau dapat kalau tidak, ya tidak apa-apa, kami sudah terbiasa puasa. Oleh karena itu tidak pernah ada tabungan.
Berangkatlah saya mendaftar bersama Isyah teman saya yang juga ikut mencoba peruntungannya, padahal dia juga sudah mengikuti tes SPMB sebelumnya. Selesat cemburu lewati hati saya namun, buru-buru saya berpaling. Astaghfirullahal’adzim seru hati saya berulang-ulang. Ampuni saya ya Allah, sungguh sedikit sekali saya bersyukur. Bukankah berkesempatan dan diberi kemampuan membeli formulir pendaftaran untuk tes STAN sudah merupakan karunia-Nya yang teramat besar buat saya?.
Karena ujiannya berlansung sejak pagi jadi tidak mungkin bila saya berangkat langsung dari rumah yang waktu tempuhnya dua setengah jam. Tidak ada bus ke kota sepagi itu. Alhamdulillah Isyah mengajak saya menginap di rumah tantenya di kota, jadi saya tidak perlu pusing lagi memikirkan bagaimana caranya agar sampai lokasi ujian tanpa terlambat.
Soal ujiannya terbagi ke dalam tiga kategori dan total jumlah soalnya adalah 180 soal. 120 soal merupakan soal-soal kemampuan umum. 60 berikutnya adalah soal-soal bahasa Indonesia dan bahasa Inggris yang masing-masingnya 30 soal. Tiap-tiap kategori minimal harus benar 1/3 dari jumlah soal, jika tidak maka langsung gugur. Sistem penilaiannya plus minus. Plus 4 untuk satu jawaban yang benar dan minus 1 untuk jawaban yang salah. Nilai nol untuk soal yang tidak dijawab.Saya sama sekali tidak menemui kesulitan untuk soal-soal bahasa tapi, kendala saya adalah pada kategori kemampuan umum. Saya kurang banyak latihan mengerjakan soal-soal logika karena saya hanya punya satu buku referensi bank soal yang saya peroleh dengan cara memfoto kopi buku Isyah. Jelas itu masih kurang, karena saat tes saya menjumpai model-model soal yang belum pernah saya temui. Sedikit khawatir sih menyadari hal itu namun, saya berusaha semampu saya untuk menyelesaikan soal-soal yang hanya diberi waktu satu menit untuk tiap soalnya itu. Kekhawatiran bertambah saat menjumpai soal-soal kemampuan umum yang untuk menyelesaikannya kapasitas otak tidak diperhitungkan tapi mengandalkan pengetahuan umum. Kuncinya bukan belajar melainkan harus update berita apa saja baik skala nasional maupun internasional. Jadi harus banyak nongkrong di depan televisi dan baca koran atau majalah. Bisa juga dengan cara browsing di internet, yang semuanya itu jelas saya kurang akses untuk itu.
Kawan, dengan ditemani sedikit kesulitan akhirnya saya selesai juga menjawab soal-soal yang mempertaruhkan harapan dan impian saya itu. Lega dan cemas. Lega karena saya telah mengerahkan seluruh kemampuan yang saya punya. Cemas melihat begitu banyaknya orang yang mengikuti ujian saringan masuk STAN. Setelah saya cari tahu, ternyata tidak kurang dari 20.000 orang yang mengikuti ujian pagi itu. Subhanallah. Itu baru di provinsi tempat saya mengikuti tes, belum lagi saya ketahui berapa jumlah peserta ujian di provinsi lain dan saya tak hendak membayangkan jumlah total seluruh Indonesia. Pasti banyak sekali. Namun saingan saya hanya yang di provinsi saya saja, karena lulusan STAN itu dijatah untuk tiap provinsinya. Dan kawan, tahukah kau berapa orang yang akan lulus untuk provinsi saya? 22 orang kawan! Gila..ini sih benar-benar saringan. Saya merinding membayangkan seberapa besar peluang untuk lulus. Ya Allah..ya Nashir..ya Mujibu.
Selanjutnya, penantian hasil ujian diumumkan adalah hari-hari yang membuat saya dilema. Otak saya hanya memikirkan jumlah orang yang akan lulus. Serius, saya benar-benar takut. Terbayang betapa sulitnya abang saya mengumpulkan uang untuk saya agar bisa mengikuti ujian tersebut. Dan apa yang akan saya berikan padanya,sungguh tak terbayar lelahnya.
Sedikit sempoyongan setelah selama dua jam lebih berada dalam bis, kini kaki saya tengah menapak di atas trotoar. Di depan hidung saya berdiri gagah sebuah gedung,Direktorat Jenderal Pajak Kantor Pelayanan Pajak, tulisan itu tertera di pagar gedung ini. Gedung yang mana katanya disitu pengumuman STAN bisa dilihat.
Tanpa sadar, sekarang sepasang mata sipit saya sudah bertatapan mesra dan saling pandang dengan papan pengumuman. Papan pengumuman yang ditempeli beberapa kertas hvs ukuran A4. Bola mata saya mulai menguliti deretan nama-nama beruntung yang diketik di atas kertas yang berjudul,’nama-nama peserta ujian saringan masuk STAN yang lulus tes tulis’. Rasanya saya sudah memperhatikan denga amat cermat. Masih belum juga percaya, lalu saya ulangi lagi membaca pengumuman itu, lagi, lagi dan lagi berkali-kali. Hasilnya tetap sama,tetap tak saya jumpai nama saya dalam daftar itu.Tidak ada!Saya tidak lulus!

***
Tidak terasa sekarang sudah pertengahan tahun 2007. Satu tahun waktu yang begitu singkat dan berlalu begitu cepat. Kawan, tahukah kau dimana saya saat ini? Seperti setahun yang lalu, sekarang saya juga sedang berdiri menatap sebuah papan pengumuman.
Punggung saya bergetar, mata nanar, seluruh persendian terasa sangat ngilu. Perih. Mengapa ya Allah..??!! Hardik hati saya. Otak mendadak saja kekurangan oksigen sehingga kepala terasa snut-snutan. Rasanya saya sudah tidak kuat lagi berdiri. Astaghfirullah, saya gagal lagi…
Sekuat tenaga saya mencoba tegar. Tapi sungguh sangat sulit untuk tidak bersedih walau saya tahu pasti sedih tidak dibenarkan oleh syariat. Berulang-ulang saya katakan pada diri saya, jangan bersedih, jangan bersedih. Ternyata pada saat-saat seperti itu otak tidak mau lagi bekerja sama dengan hati. Hati saya terlalu sedih, sakit sekali rasanya, meski akal sehat saya memerintahkan saya untuk tidak bersedih tapi saya tetap tidak bisa. Tak ayal keluar juga cairan hangat itu dari ujung-ujung mata saya. Tenggorokan dan hidung ini terasa amat sakit karena saya berusaha menahan tangis. Hati dan mata saya kompak mengkhianati otak saya. Mereka menangis sedih tak mengabaikan perintah otak.
Saya kira, berdamai dengan kesedihan adalah pekerjaan paling berat di dunia. Saya sejak lahir hampir tidak pernah hidup senang. Namun segala kesusahan hidup yang saya jalani tidak pernah membuat saya sedih sedikitpun. Bahkan saya hampir-hampir tidak tahu apa itu sedih. Karena saya senantiasa diajarkan oleh kedua orang tua saya untuk berbahagia atas segala sesuatu yang kami punya. Berbahagia untuk semua kekurangan kami. Bersyukur untuk setiap anugerah. Ibu saya pernah mengatakan bahwa, anugerah itu tidak selalu berupa kesenangan dan kemudahan hidup. Kesusahan dan kepedihan hidup juga merupakan anugerah. Buru-buru saya menyeka dua mata dan dua pipi saya yang tadinya basah. Saya harus sudahi kesedihan ini. Seperti kata ibu, ini adalah anugerah, maka bukan dengan menangis mensyukurinya. Astaghfirullah ya Allah, maafkan saya. Ini belum apa-apa bila dibandingkan dengan ujian yang Engkau berikan pada orang-orang saleh terdahulu.
Alhamdulillah, terima kasih ya Allah, melalui ibu, Engkau telah mengingatkan diri yang lemah ini untuk segera menyadari dan merasakan betapa Engkau tengah membelai saya dengan kasih sayangMu. Sungguh Engkau akan selalu memenuhi setiap kebutuhan hambaMu. Tidak ada satu binatang melata pun di bumi ini yang tidak Engkau beri rizki, begitu janjiMu. Dan Engkau memberi apa pun yang dibutuhkan oleh manusia bukan yang diinginkannya. Karena tidak semua keinginan merupakan kebutuhan. Seperti halnya saya menginginkan kuliah di STAN tapi, Engkau tidak mengabulkannya maka, itu berarti STAN bukan kebutuhan saya. Dan kalau bukan karena anugerah-anugerah indah yang Engkau berikan kepada saya ini, manalah mungkin saya mengingat dan menyebut namaMu sebanyak sekarang.
Ringan saya langkahkan kaki meninggalkan papan pengumuman yang tetap bisu menyaksikan beragam ekspresi manusia yang melihatnya. Saya sudah tidak peduli lagi dengan papan bisu itu. Saya hanya ingin segera pulang ke rumah kami yang sangat bersahaja karena sangat sederhananya rumah itu namun, begitu hangat dan penuh kasih sayang para penghuninya. Orang-orang dalam rumah itu akan senantiasa menyambut saya dengan senyum tulus dan pelukan sayang meskipun, saya datang dengan membawa kabar yang tidak ingin mereka dengar.
Kala itu hanya kalimat ini yang mampu saya ucapkan pada abang saya yang disambutnya dengan senyum getir.
“Maaf Abang, sekali lagi saya persembahkan elegi untukmu . .”

***
Februari 2011

Sabtu, 09 April 2011

K E T I K A


Ketika kau begitu lemah

Ketika kau tak berdaya

Ketika tak satu pun yang dapat kau perbuat

Ketika kau menangis

Ketika kau membenci

Ketika kau marah

Ketika kau sedih

Menangisi kelemahan diri

Marah pada ketakberdayaan diri

Sedih tak mampu berbuat

Ketika kau hancur

Ketika tak ada tempat bercerita

Ketika tak ingin memberitahu

Ketika tak ada yang bisa diandalkan

Bahkan diri sendiri sekalipun

Dan ketika kau tak berharga

Tak bernilai seperti sampah

Ketika itu pula

Kau begitu benci pada dirimu

Orang-orang tak ada yang peduli

Bahkan Tuhan pun

Tak hendak memandangmu

Menoleh pun tidak

Ketika itu

Kau . .

. . . . . . 



30032011